Hadits-hadits lain yang menjadi dasar pelaksanaan kafa’ah adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani, Al-Hakim dan Rafi’i :
فإنهم عترتي, خلقوا من طينتي ورزقوا
فهمي و علمي, فويل للمكذّبين بفضلهم من أمتي القاطعين منهم صلتي لا أنزلهم الله
شفاعتي
‘… maka mereka itu keturunanku diciptakan (oleh Allah) dari darah
dagingku dan dikaruniai pengertian serta pengetahuannku. Celakalah (neraka
wail) bagi orang dari ummatku yang mendustakan keutamaan mereka danmemutuskan hubunganku dari mereka. Kepada mereka itu Allah tidak akan
menurunkan syafa’atku.’
Adapun makna yang terkandung dalam hadits ini adalah dalam hal
nasab mustahil akan terjadi pemutusan hubungan keturunan nabi saw kalau tidak
dengan terputusnya nasab seorang anak dan tidak akan terputus nasab seorang anak
kalau bukan disebabkan perkawinan syarifah dengan lelaki yang tidak menyambung
nasabnya kepada nabi saw. Dan jika telah terjadi pemutusan hubungan tersebut,
maka menurut hadits di atas Nabi Muhammad tidak akan memberi syafa’atnya kepada
orang yang memutuskan hubungan keturunannya kepada Rasulullah melalui
perkawinan syarifah dengan lelaki yang bukan sayid.
Dalam berbagai buku sejarah telah tertulis bahwa khalifah Abu
Bakar dan Umar bersungguh-sungguh untuk melamar Siti Fathimah dengan harapan
keduanya menjadi menantu nabi. Al-Thabary dalam kitabnya yang berjudul Dzakhairul Uqbahalaman 30 mengetengahkan
sebuah riwayat, bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah meminang Siti Fathimah, oleh
Rasulullah dijawab : ‘Allah belum menurunkan takdir-Nya’. Demikian pula jawaban
Rasulullah kepada Umar bin Khattab ketika meminang Siti Fathimah ra.. Mengapa
mereka ingin menjadi menantu nabi ? Dua orang sahabat itu meminang Fathimah,
semata-mata ingin mempunyai hubungan kekerabatan dengan Rasulullah dan karena
keutamaan-keutamaan yang diperoleh keluarga nabi menyebabkan mereka ingin
sekali menjadi menantunya. Mereka mendengar Rasulullah bersabda :
كلّ نسب وصهر ينقطع يوم القيامة إلا نسبي و صهري
‘Semua hubungan nasab dan
shihr (kerabat sebab hubungan perkawinan) akan terputus pada hari kiamat
kecuali nasab dan shihr-ku‘
Al-Baihaqi, Thabrani dan yang lain meriwayatkan bahwa ketika Umar
bin Khattab ra meminang puteri Imam Ali ra yang bernama Ummu Kulsum, beliau
berkata :
‘Aku
tidak menginginkan kedudukan, tetapi saya pernah mendengar Rasulullah saw
berkata : ‘Sebab dan nasab akan terputus pada hari kiyamat kecuali sababku dan
nasabku. Semua anak yang dilahirkan ibunya bernasab kepada ayah mereka kecuali
anak Fathimah, akulah ayah mereka dan kepadaku mereka bernasab.’ Selanjutnya
Umar ra berkata lebih lanjut : Aku adalah sahabat beliau, dan dengan hidup
bersama Ummu Kulsum aku ingin memperoleh hubungan sabab dan nasab (dengan
Rasulullah saw)’.
Sebuah hal yang ironis, orang lain saja (khalifah Abu Bakar dan
khalifah Umar) ingin menjadi menantu nabi karena ingin mendapatkan keutamaan
dan kemuliaan melalui perkawinan dengan keturunan Rasulullah saw , sebaliknya
ada sebagian keturunan Rasulullah yang dengan sengaja melepas dan menghilangkan
keutamaan dan kemuliaan itu pada diri dan keluarganya khususnya kepada
keturunannya hanya karena mereka mengikuti nafsu untuk bebas memilih dan
menikahkan anak perempuannya dengan seorang lelaki yang tidak sekufu’ (bukan
sayyid).
Seharusnya para keturunan Rasulullah yang hidup saat ini
melipatgandakan rasa syukurnya kepada Allah, karena melalui kakeknya Nabi
Muhammad saw mereka menjadi manusia yang memiliki keutamaan dan kemuliaan,
bukan sebaliknya mereka kufur ni’mat atas apa yang mereka telah dapatkan dengan
melepas keutamaan dan kemuliaan diri dan keturunannya melalui pernikahan yang
mengabaikan kafa’ah nasab dalam
perkawinan anak dan saudara perempuannya, yaitu dengan mengawinkan anak dan saudara perempuannya sebagai seorang syarifah dengan
lelaki yang bukan sayyid.
Sebelum
pernikahan kedua manusia suci itu, Siti Fathimah pernah dilamar oleh Abu Bakar
Ash-Shiddiq. Lamaran tersebut tidak diterima oleh Rasulullah dengan alasan
Allah swt belum menurunkan wahyu-Nya untuk menikahkan Siti Fathimah. Begitu
pula dengan Umar bin Khattab, beliau juga melamar Siti Fathimah, akan tetapi
lamaran itu pun tidak diterima Rasulullah dengan alasan yang sama ketika
menolak lamaran Abu Bakar Ash-Shiddiq. Akan tetapi ketika Ali bin Abi Thalib
melamar Siti Fathimah kepada Rasulullah, saat itu juga Rasulullah menerima
lamaran Ali bin Abi Thalib dan Rasulullah berkata : ‘Selamat wahai Ali, karena
Allah telah menikahkanmu dengan putriku Fathimah’.
Secara selintas memang peristiwa tersebut merupakan pernikahan
biasa yang dialami nabi sebagai seorang ayah, dan sebagai utusan Allah yang
senantiasa menerima wahyu dari Tuhannya. Akan tetapi dibalik peristiwa itu,
terkandung nilai-nilai yang disampaikan Allah kepada nabinya yaitu berupa hukum
kafa’ah dalam perkawinan keluarga Rasulullah, dimana Allah mensyariatkan
pernikahan Imam Ali bin Abi Thalib dan Siti Fathimah yang keduanya mempunyai
hubungan darah dengan Rasulullah dan mempunyai keutamaan ganda yang tidak
dimiliki oleh Abu Bakar
dan Umar . Mereka adalah ahlul bait, dimana Allah telah menghilangkan dari
segala macam kotoran
dan membersihkan mereka dengan sesuci-sucinya.
Generasi Nabi saw lahir dari putrinya Fathimah ra. Beliau sangat
mencintai mereka, al-Hasan dan al-Husein disebut sebagai anaknya sendiri,
bahkan kepada menantunya, suami dari Fathimah ra, Rasulullah saw mengatakan :
‘Seandainya
Ali bin Abi Thalib tidak lahir ke bumi maka Fathimah tidak akan mendapatkan
suami yang sepadan (sekufu’), demikian pula halnya dengan Ali, bila Fathimah
tidak dilahirkan maka Ali bin Abi Thalib tidak pula akan menemukan istri yang
sepadan (sekufu’), mereka dan anak-anaknya diriku dan diriku adalah diri mereka‘
Abu Abdillah Ja’far al-Shaddiq, mengatakan, ‘Seandainya Allah
tidak menjadikan Amirul Mukminin (Imam Ali) maka tidak ada yang sepadan
(sekufu’) bagi Fathimah di muka bumi, sejak Adam dan seterusnya’.
Para ulama
seperti Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Imam Syafii dalam masalah kafa’ah
sependapat dengan pendapat khalifah Umar bin Khattab yang mengatakan :
لأمنعن فزوج ذوات الأحساب إلا من الأكفاء
‘Aku
melarang wanita-wanita dari keturunan mulia (syarifah) menikah dengan lelaki
yang tidak setaraf dengannya’.
Menurut mazhab Syafii, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal, seorang
wanita keturunan Bani Hasyim, tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki dari
selain keturunan mereka kecuali disetujui oleh wanita itu sendiri serta seluruh
keluarga (wali-walinya). Bahkan menurut sebagian ulama mazhab Hambali, kalaupun
mereka rela dan mengawinkannya dengan selain Bani Hasyim, maka mereka ituberdosa. Imam Ahmad bin Hanbal berkata :
‘Wanita keturunan mulia
(syarifah) itu hak bagi seluruh walinya, baik yang dekat ataupun jauh. Jika
salah seorang dari mereka tidak ridho di kawinkannya wanita tersebut dengan
lelaki yang tidak sekufu’, maka ia berhak membatalkan. Bahwa wanita (syarifah)
hak Allah, sekiranya seluruh wali dan wanita (syarifah) itu sendiri ridho
menerima laki-laki yang tidak sekufu’, maka keridhaan mereka tidak sah’.
Seorang ulama yang terkenal yang dianggap pendobrak kebekuan
pemikiran kaum muslimin seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya
tentang seorang Syarif yang putrinya dikawinkan dengan seorang bukan Syarif
padahal si ayah tidak setuju, apakah nikah tersebut sah ? Ibnu Taimiyah
menjawab :
‘Kafaah
dalam hal nasab tidak merupakan persyaratan bagi Imam Malik. Adapun menurut Abu
Hanifah, Syafii dan Ahmad–dalam salah satu riwayat darinya– kafaah adalah hak
isteri dan kedua orang tua. Maka apabila mereka semua rela tanpa kafu, sahlah
nikah mereka. Akan tetapi dalam riwayat lainnya dari Ahmad, kafaah adalah ‘hak Allah’ dan oleh karenanya tidaklah sah nikah tanpa adanya
kafaah’.
.
Dalam kitabnya Bughya
al-Mustarsyidin, sayid
Abdurahman bin Muhammad bin Husein al-Masyhur, berkata :
‘Seorang syarifah yang dipinang oleh orang selain laki-laki
keturunan Rasulullah, maka aku tidak melihat diperbolehkannya pernikahan
tersebut. Walaupun wanita keturunan Ahlul Bait Nabi saw dan walinya yang
terdekat merestui. Ini dikarenakan nasab yang mulia tersebut tidak bisa diraih
dan disamakan. Bagi setiap kerabat yang dekat ataupun jauh dari keturunan
sayyidah Fatimah al-Zahra adalah lebih berhak menikahi wanita keturunan Ahlul
Bait Nabi tersebut‘.
Selanjutnya
beliau berkata :
‘Meskipun para fuqaha mengesahkan perkawinannya, bila perempuan itu
ridho dan walinya juga ridho, akan tetapi para fuqaha leluhur kami
mempunyai pilihan yang para ahli fiqih lain tidak mampu menangkap rahasianya, maka terima sajalah kamu
pasti selamat dan ambillah pendapatnya, jika kamu bantah akan rugi dan menyesal‘.
Dijelaskan
oleh Sayyid Usman bin Abdullah bin Yahya (Mufti Betawi) :
‘Dalam perkara kafa’ah, tidaklah sah perkawinan seorang laki-laki
dengan perempuan yang tidak sekufu’ apalagi perempuan itu seorang syarifah maka
yang bukan sayyid tidak boleh menikahinya sekalipun syarifah itu dan
walinya menyetujuinya. Sekalipun para fakih telah berkata bahwa pernikahan itu
sah namun para ulama ahlul bait mempunyai ijtihad dan ikhtiar
dalam perkara syara’ yang tiada di dapati oleh para fakih lain. Maka sesudah diketahui segala nash ini tentang larangan pernikahan
wanita keturunan ahlul bait nabi SAW, sebaiknya menjauhkan diri dari
memfatwakan bolehnya pernikahan syarifah dengan selain dari keturunan
Rasulullah tersebut dengan berlandaskan semata-mata nash umum fuqaha, yakni
nikah itu sah bila si wanitanya ridha dan walinya yang dekatpun ridha. Hal ini
berlaku secara umum, tidak berlaku untuk syarifah dengan lain bangsa yang bukan
sayyid‘.
Selanjutnya beliau berkata :
‘Daripada
yang menjadi godaan yang menyakitkan hati Sayidatuna Fathimah dan sekalian
keluarga daripada sayid, yaitu bahwa seorang yang bukannya dia daripada bangsa
sayid Bani Alawi, ia beristerikan syarifah daripada bangsa Bani Alawi, demikian
juga orang yang memfatwakan harus dinikahkannya, demikian juga orang yang
menjadi perantaranya pernikahan itu, karena sekaliannya itu telah menyakitkan
Sayidatuna Fathimah dan anak cucunya keluarga Rasulullah saw‘.
Mufti Makkah al-Mukarromah, sayid Alwi bin Ahmad al-Saqqaf ,
menjelaskan dalam kitabnya Tarsyih
al-Mustafidin Khasiyah Fath al-Mu’in:
‘Dalam kitab al-Tuhfah dan al-Nihayah disebutkan bahwa tidak ada
satupun anak keturunan Bani Hasyim yang sederajat (sekufu’) dengan anak
keturunan Siti Fathimah. Hal ini disebabkan kekhususan Rasulullah saw,
karena anak keturunan dari anak perempuannya (Siti Fathimah) bernasab kepada beliau dalam hal kafa’ah dan lainnya.”
Pendapat-pendapat
yang dikeluarkan oleh para ulama keturunan Rasulullah saw tersebut merupakan
dalil hukum syariat yang dapat dijadikan pedoman dalam pernikahan seorang
syarifah. Mengapa demikian ? Dikarenakan mereka adalah hujjah-hujjah Ilahi yang
berusaha menjaga umat ini dan memelihara kelurusan terhadap penyimpangan dari
aspek-aspek ibadah dan lain-lain. Oleh karena itu, umat ini seyogyanya
berpegang teguh kepada mereka serta tidak mendahului dan tidak mengabaikan
mereka. Orang yang bersandar dan mengikuti mereka tidak akan tersesat,
sebagaimana tidak akan tersesat orang yang bersandar pada alquran, hal tersebut
adalah jaminan Rasulullah kepada ummatnya, sebagaimana sabda beliau saw yang dinamakan dengan hadits al-Tsaqalain :
‘Kepada kalian kutinggalkan
sesuatu yang jika kalian berpegang teguh kepadanya sepeninggalanku kalian tak
akan tersesat : Kitab Allah sebagai tali yang terentang dari langit sampai ke
bumi, dan keturunanku, ahlul baitku. Dua-duanya tidak akan
terpisah hingga kembali kepadaku di Haudh (sorga). Perhatikanlah kedua hal itu
dalam kalian meneruskan kepemimpinanku’.
Mengenai
ucapan Rasulullah saw, ‘Dua-duanya tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku
di Haudh’ dan ucapan beliau,
‘jika kalian berpegang teguh kepadanya sepeninggalanku kalian tak akan
tersesat’, yang dimaksud adalah para ulama yang berasal dari keturunan ahlul
bait, tidak berlaku bagi orang-orang selain mereka. Mereka mempunyai
keistimewaan sebagai teladan dan berada pada martabat lebih tinggi daripada
yang tidak mempunyai keistimewaan sebagai teladan. Kita wajib berteladan kepada
ulama dari kalangan mereka, dengan menimba dan menghayati ilmu-ilmu mereka yang
telah dijamin oleh Allah swt.
Rasulullah
saw dengan ucapannya menunjuk anggota-anggota keluarga keturunan beliau,
dikarenakan mereka mempunyai keistimewaan dapat memahami apa yang diperlukan
(hikmah-hikmah yang terkandung dalam suatu perkara, yang tidak dapat dipahami
oleh ulama selain mereka). Sebab kebaikan unsur penciptaan yang ada pada mereka
dapat melahirkan kebaikan akhlaq, dan kebaikan akhlaq akan menciptakan
kebersihan dan kesucian hati. Manakala hati telah bersih dan suci ia akan
memberikan cahaya terang dan dengan cahaya itu dada akan menjadi lebih cerah.
Semuanya itu merupakan kekuatan bagi mereka dalam usahanya memahami apa yang
harus dilakukan menurut perintah syariat. Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya yang
berjudul al-Aqidah
al-Wasithiyah memberi tanggapan terhadap hadits tsaqalain sebagai berikut :
‘Dua kalimat hadis tsaqalain
yang menyatakan ‘dua-duanya tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku di
Haudh’, dan ‘jika kalian berpegang teguh kepadanya sepeninggalanku kalian tak
akan tersesat’, hal tersebut tidak hanya berlaku bagi para Imam atau
orang-orang terkemuka dari keluarga keturunan Rasulullah saw saja, melainkan
berlaku juga bagi semua orang yang berasal dari keluarga keturunan beliau, baik
yang awam maupun yang khawas, yang menjadi Imam maupun yang tidak‘.
Perkataan
Ibnu Taimiyah semakin menjelaskan bahwa masalah kafa’ah yang dilaksanakan oleh
para keturunan Rasulullah, baik ia seorang ulama ataupun ia seorang awam, di mana status mereka sebagai padanan alquran, bukanlah suatu yang
bertentangan dengan ajaran Islam atau berdasar kepada adat semata-mata.
Disamping
itu, hal itu dilakukan berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam alquran,
diantaranya surat Surat
Muhammad ayat 22-23 yang berbunyi :
‘Maka apakah kiranya jika
kamu berkuasa, kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan ?. Mereka itulah orang-orang
yang dila’nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya
penglihatan mereka‘.
Sebagai
pelengkap uraian di atas, seorang hakim pengadilan Mesir memfasakhkan
pernikahan seorang syarifah yang menikah dengan lelaki yang bukan sayid seperti
yang terdapat dalam Fatawa al-Manar, Juz VII, hal 447 ditulis :
‘Sebagaimana yang pernah
terjadi dalam kasus peradilan di Mesir pada sekitar tahun 1904, mengenai
perkawinan Syekh Ali Yusuf, pemimpin majalah al-Mu’ayyad dengan sayidah
Shofiyah binti sayid Abdul Khaliq al-Saadat. Hakim syar’i menetapkan batalnya
akad berdasarkan tidak adanya kafa’ah. Karena si perempuan dari golongan
Alawiyah sedang syekh Ali Yusuf bukan orang Alawi’.
Sungguh patut disesalkan jika seseorang dalam suatu pernikahan
mengangkat wali kuasa sebagai wali nikah (wali hakim) dan dengan sengaja
menikahkan wanita tersebut tanpa seizin wali terdekatnya, apalagi tidak sekufu’
serta seorang syarifah yang kawin lari dengan laki-laki yang bukan sayid
dikarenakan orang tua mereka tidak menyetujui pernikahan tersebut. Tindakan
tersebut merupakan suatu hal yang mengganggu Rasulullah SAW dan menyakitinya
apabila terjadi suatu perkawinan terhadap putri-putri dari keturunan beliau
dengan tanpa pertimbangan kafa’ah terlebih dahulu, melalaikan amanat dan tidak
memperhatikan serta tidak menjaga perihal hubungan nasab keturunan beliau.
Sehubungan dengan itu, Allah swt berfirman dalam
Alquran :
‘Tidak boleh bagi kalian
menyakiti diri Rasulullah saw dan tidak boleh mengawini isteri-isterinya
selama-lamanya setelah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu amat besar dosanya
di sisi Allah swt’.
Dari ayat tersebut kita dapat memahami dan mengambil kesimpulan,
bahwa apabila isteri-isteri Nabi saw saja dilarang bagi orang-orang lain untuk
mengawini mereka karena dianggap
akan mengganggu Rasulullah saw, di mana ikatan mereka dengan Rasul karena
adanya hubungan pernikahan, apalagi terhadap anak cucu beliau yang bersambung
karena hubungan nasab , darah dan kefamilian.
Jika kita membaca sejarah, ketika anak perempuan Abu Lahab
meninggalkan orang tuanya dan hijrah ke Madinah, beberapa orang dari kaum
muslimin berpendapat bahwa hijrah mereka ke Madinah tidak ada gunanya sama
sekali, karena orang tua mereka adalah umpan api neraka. Ketika anak perempuan
Abu Lahab melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah, beliau bersabda :
‘Kenapa masih ada
orang-orang yang masih menggangguku melalui nasab dan kerabatku ? Barang siapa
mengganggu nasabku dan kaum kerabatku berarti ia menggangguku, barang siapa
menggangguku berarti ia mengganggu Allah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar